Tuesday, May 24, 2022

Haji yang Tidak Diterima

Bbrp hari terakhir penasaran sm penyebab ga diterimanya haji seluruh peserta haji di masa Abdullah bin Mubarok tp blm nemu2. Kira2 pas dia mimpi ttg Muwaffaq, seorang tukang sepatu dari Damaskus yg ga jadi pergi haji tp karenanya haji seluruh peserta haji jd diterima, itu pas masa keemasannya Abbasiyah dmn ilmu pengetahuan, ekonomi, dan fiqh lg maju2nya, masyarakat lg makmur2nya. I mean, kalo di generasi itu aja ga diterima, gimana di generasi kita?

Sesedikit yg kubaca sih sistem ekonomi waktu itu masi pure Islami, bebas riba dan multiakad dkk, jd insyaAllah harta orang2 buat naik haji itu halal semua. Lalu, apakah niatnya yg salah? Kayanya ga mungkin sampe 600rb orang jg yg salah niat. Jd kemungkinan alasannya adl krn keacuhan atau luputnya mereka dlm memperhatikan kondisi orang2 di sekitarnya. Di tengah2 kemakmuran mereka ternyata ada yg sangat miskin sampe harus makan bangkai. Memang masa khulafaur rasyidin sudah berlalu, shg ga semuanya di masa ini bisa kita contoh. Kalo ga ada Muwaffaq, semua yg berangkat haji itu jadi sia2.

Lah sekarang, sm tetangga ga kenal, trs daftar haji nyetor uang yg kecipratan riba dan terpaksa tanda tangan pengelolaan dana haji yg mengandung multiakad yg bikin ngantri puluhan tahun dan kepastian keberangkatannya makin meragukan. Selamatkan kami ya Allah..

Monday, October 25, 2021

Superioritas dan Identitas

Kemarin aku beres baca "Performing Power: Cultural Hegemony, Identity, and Resistance in Colonial Indonesia"-nya Arnout van der Meer dan malah belum jadi baca fiksi hee. Bukunya bener-bener nagih, fascinating membaca revolusi adat-istiadat Jawa di masa penjajahan. Dulu kukira budaya itu hanya berubah secara evolusioner, natural gitu. Ternyata ada masanya adat dihapuskan melalui pemungutan suara! 13 Oktober 1931 dibuat pemungutan suara melalui surat kabar mengenai setuju atau tidaknya sembah-jongkok dihapuskan dari tata krama Jawa. Menurutku ini amazing bangett, ga nyangka aja. Mungkin kalo kita ga pernah dijajah Belanda ini ga bakal terjadi ya.. Di buku ini aku jadi kurang-lebih tau garis keturunanku tuh kira-kira ada di kelompok yang mana (sotoy). Kemungkinan keluargaku itu masuk priyayi konservatif yang akhirnya setuju dengan kelompok progresif untuk yang pria mengenakan pakaian Eropa dan yang wanita tetap menjaga budaya Jawa dengan kain dan kebayanya.

Di buku itu terlihat colonial mentality jelas sekali tergambar dari golongan konservatif maupun progresif. Golongan konservatif umumnya dari kalangan bangsawan Jawa yang selalu ingin dianggap tinggi kaumnya sendiri, entah ini terikut perasaan superioritas penjajah atau memang perasaan superioritas alami karena terbiasa dilayani dan dihormati lebih. Golongan progresif umumnya datang dari kelas priyayi bawah yang teredukasi, mereka meniru penampilan penjajah agar terlihat setara. Di awal mereka agaknya terlalu ekstrim mau terlihat seperti Barat sehingga tampak merendahkan budaya sendiri walaupun tidak negatif (misalnya pakaian adat Jawa yang sebenarnya tidak 'rendah', hanya karena penjajah mengasosiasikan pakaian dengan keterbelakangan mereka saja) dan sempat lupa bahwa pakaian dan aksesoris ala Baratnya itu barang impor yang hanya menguntungkan penjajah (misalnya anting dari daun kelapa dan peniti/bros yg dari serat nanas diubah jadi dari timah impor). Namun, untungnya kalangan ini terbuka akan diskusi sehingga akhirnya di tahun 1920-an sepakat walaupun mereka berpenampilan Barat, diutamakan produknya lokal, dan tetap menggunakan peci untuk menunjukkan identitas nasional dan wanita tetap menjaga adat dengan tetap berpakaian adat. Pendukung pakaian adat (golongan konservatif kemungkinan termasuk) pun setuju dengan ini.

Tema superioritas/hegemoni etnis ini juga berlanjut membahas superioritas gender. Orang Indonesia dan Belanda di masa penjajahan sama-sama menganggap wanita/istri itu tugasnya di rumah, memastikan rumah dan keturunan mereka dirawat dengan sebaik-baiknya. Ternyata sama aja, mungkin memang fitrahnya.

Di tema superioritas ini aku menangkap seakan tiap pihak yang berusaha menjadi superior itu memiliki double standard, jadi kesannya munafik. Contradicting values yang menimbulkan ambivalensi. 

Misalnya Belanda yang merasa lebih superior karena keahlian dan kemajuannya dalam sains dan teknologi berasumsi bahwa orang Indonesia lebih terbelakang (malas, lemah, dst) karena iklimnya yang telalu memudahkan untuk mendapat makanan dan tidak dipusingkan masalah sandang dan papan karena tidak ada musim dingin. Sehingga tidak ada  proses seleksi alami berkaitan dengan kekuatan fisik, dan tidak ada dorongan untuk bekerja keras, inovatif, atau berjuang menuju kemajuan. Tapi Belanda sendiri membayar pembantu untuk mengurusi rumah dan anak-anaknya, menunjukkan bahwa mereka yang malas. Lucu sekali di bagian ketika mereka kemudian percaya bahwa iklim menyebabkan degenerasi orang Eropa. Mereka akhirnya menyalahkan para ibu karena tidak merawat anaknya sendiri dan malah menyerahkannya ke pembantu pribumi dan tidak mengawasi/membuat makanan sendiri sehingga bisa mempercepat degenerasi keluarganya haha. Mereka dengan peradabannya merasa punya tanggung jawab moral untuk memperadabkan manusia Indonesia yang terbelakang (mereka menganggap kita adalah versi awal-awal manusia dan mereka adalah versi finalnya, walaupun asumsi ini udah tertolak sama Eijkman di akhir abad 19), tapi di saat yang sama tidak mau dianggap setara. Saat orang Indonesia mulai mengenakan pakaian Barat, mereka kemudian meningkatkan penampilan mereka dengan mengenakan pakaian barat dengan mode terbaru yang lebih 'tinggi'.

Contoh dari orang Indonesia ya yang tadi itu, kaum pria yang memperjuangkan kesetaraan dengan penjajah dengan memakai pakaian Barat tidak membolehkan kaum wanita melakukan hal yang sama karena ditugaskan menjaga adat. Lumayan geleng-geleng sih, tapi mungkin aja waktu itu pakaian wanita Barat masih terlalu seksi jadi menyalahi aturan Islam (yang sudah cukup dipegang kuat) jadi ga boleh, dan mungkin sebenarnya ada ketakutan di hati mereka akan warisan budaya yang hilang (walaupun di mulutnya merendahkan pria yang masih pakai kain). Tapi kan mereka juga sepakat untuk (prianya) pakai pakaian adat saat ada hajatan lokal ya hmm. Yang jelas, waktu itu belum kepikiran kalo pakaian adat bisa dijahit jadi pakaian Barat jadi kesepakatannya masih begitu deh hehehe. Memang teknologi melahirkan inovasi (ide baru).

Jadi mikir, dari mana asalnya perasaan superioritas itu? Setelah aku googling, aku menemukan kalau ini adalah sifatnya Iblis yang nempel sama kita. Iblis yang dulu ga mau sujud ke Adam karena merasa lebih superior karena diciptakan dari api dan lebih dulu. Padahal Allah kan ga pernah bilang kalo superioritas diukur dari situ. Kalo rasul pas haji wada dulu bilang begini:

“There is no superiority of an Arab over a non-Arab, or of a non-Arab over an Arab, and no superiority of a white person over a black person or of a black person over a white person, except on the basis of personal piety and righteousness.”

Superioritas diukur hanya berdasarkan ketakwaan, bukan yang lain. Terus gimana taunya seseorang itu lebih takwa dari yang lain? Kalo itu hanya Allah yang tau, kita hanya bisa menilai dari yang ditampilkan kepada kita. Dari sini bisa kusimpulkan rasa superiornya penjajah, bangsawan, sampe kaum progresif itu ga ada yang bisa dibenarkan. Untuk orang yang merasa bertakwa juga ga bisa sok merasa superior dan merendahkan orang lain, karena kalau perasaan itu timbul, menurutku itu artinya kamu belum benar-benar bertakwa. Untuk orang yang kita liat bertakwa banget, misalnya ulama, kita hormati tapi jangan sampai syirik.

Another thoughts on this book, ternyata pencarian identitas budaya itu ga pernah berhenti ya, dari dulu sampe sekarang (udah seabad lebih) kita masih ngomongin pakaian kita seharusnya bagaimana, untuk saat ini ada hijab yang banyak dipermasalahkan karena ditakutkan menghapuskan budaya nasional dan malah menjadi Arab. Padahal dari dulu juga kita sudah belajar, kalo jawabannya adalah kompromi. Karena adat tetap bisa dilestarikan dengan memasukkannya ke budaya baru. Toh inti dari budaya kan manusianya, kalau (nilai) mereka berubah ya berubah pula budaya dan adatnya.

Terus, ternyata pembiacaraan tentang gaya hidup sehat dan kesehatan mental itu juga udah berlangsung dari dulu. Jadi ternyata Belanda menggalakkan agrikultur ala Barat (misalnya percobaan penanaman gandum dan peternakan sapi di pegunungan Jawa) itu untuk mendukung gaya hidup Eropa mereka karena mereka takut terdegenerasi kalau makan makanan lokal. Ini mirip seperti ilmu naturopati saat ini yang percaya bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan makanan yang tumbuh di tempat lahirnya, jadi kalo di Indonesia gandum ga bisa tumbuh, maka manusianya juga ga bisa mencernanya dengan baik dan malah jadi penyakit.

Sama kayak pemikiran yang muncul pas aku baca "The Age of Ideology"-nya Henry D. Aiken, ternyata manusia ga berkembang terlalu banyak ya, pemikiran dan bahasa (Inggris) selama lebih dari seratus tahun ternyata ga banyak berubah, cenderung sama aja (bahkan terjemahan tulisan Auguste Comte di buku The Age of Ideology itu ditulis 168 tahun yang lalu!), hanya terulang-ulang terus. Makanya aku percaya banget apa yang kita pikirkan secara filosofis saat ini pasti ada juga yang udah mikirin, seperti yang aku temukan di buku "Limits to Growth"-nya Donella Meadows dkk yang ternyata 50 tahun lalu sudah menjawab pertanyaanku mengenai batas pertumbuhan ekonomi kita. Dari dulu kita mempertanyakan mengenai Tuhan. Sains terus-terusan menemukan hal baru dan mengubah kebiasaan manusia yang akhirnya menggiring kita untuk kembali mempertanyakan fondasi nilai kita sebagai manusia, apa tujuan hidup kita. Jadi makin nyata kata-kata Allah kalau dunia itu singkat, karena pembicaraan yang naik tingkat mungkin hanya akan terjadi di akhirat (berima yaaa).